Pages

Minggu, 21 September 2014

KEJAWEN



Agama primitif nenek moyang sudah sangat menyatu dengan masyarakat Indonesia bahkan sebelum datangnya agama Shiwa dan Buddha. Kedua agama tersebut seakan-akan berperang tanding. Setelah Islam masuk, Gomo Jowo (Agama Jawa / Kejawen) masih menjadi kepercayaan yang kuat bagi orang-orang jawa. Karena itu, timbullah sinkritisme antara Islam dan Kejawen.
Menurut Prof. K. K. Berg, timbul suatu gerakan “mengumpulkan jadi satu” segala ajaran yang bertentangan sehingga timbul ajaran yang baru, bersifat jawa, yang tidak lagi Buddha karena dia mengaku adanya Tuhan; tidak lagi Hindu karena tidak mengakui Krishna, Shiwa, dan Wishnu; dan tidak lagi Islam karena tidak menerapkan Tauhid sejati. Tetapi, harus diakui bahwa ajaran tersebut banyak menggunakan kaidah-kaidah Islam.
Ada 3 kitab yang sangat berkontribusi dalam ajaran Kejawen. Kitab tersebut berisi pemikiran-pemikiran tashawwuf yang sudah sangat melenceng dari Islam. Pemikiran tersebut malah seperti menjatuhkan nilai Islam. 3 kitab itu adalah: 1. Darmo Ghandul 2. Gatoloco 3. Hidayat Jati. Ketiga isi kitab tersebut akan diuraikan di postingan selanjutnya,

Kamis, 11 September 2014

FEODALISME MENUMBUHKAN ILMU KEBATINAN


                Feodalisme atau menuhankan raja, adalah salah satu dasar untuk memupuk apa yang dinamai ilmu kebatinan. Tak jarang orang yang kuat aqidahnya dan tauhid yang mantap, ia akan menentang feodalisme. Tak jarang pada waktu itu kerajaan atau bangsawan berselisih dengan ulama’ yang mempunyai agama yang kuat dan murni sehingga terjadi peperangan. Tapi ada juga yang ingin secara damai. Penyebaran secara damai juga mempunyai resiko yang cukup tinggi, Islam sendiri menjadi samar-samar atau bercampur aduk dengan kepercayaan yang sudah ada, Islam ia, Hindu ia, Buddha ia, animisme ia, komunispun iya.
                Alm. Kyai H. Mas Mansur pernah bercerita bahwa ketika Sunan Giri diundang ke Mataram, setelah beliau kembali lagi ke Giri, ada muridnya yang bertanya tentang pengalaman beliau. Beliau menjawab: “Jauh perbedaannya dengan kita di sini! Di kita Pangeran hanya satu, di sana semua orang yang bertemu di istana adalah pangeran.”
                Pertentangan pernah memuncak pada jaman Amangkurat I (1646-1677), putera dari Sultan Agung. Beliau sangat berbeda dengan ayahnya yang disebut sebagai “Sayyidin Panoto Gomo”. Amangkurat I sudah bosan dengan kefanatikan kaum agama Islam yang menganggap raja adalah manusia biasa. Tercatat pada waktu itu terjadi penangkapan besar-besaran terhadap Ulama dan Santri lalu dibunuh di alon-alon Kartasura.
                Islamo-phobi telah tumbuh sejak itu. Ulama-ulama pindah dan mendirikan pesantren di tempat lain, menurut ajaran Imam Ghazali : “Supaya selamat jauhi istana”. Tetapi tidak semua kaum Islam pindah. Ada yang tinggal hati-hati di sekitar istana. Pada waktu itulah timbul golongan mutihan yang bersorban putih dan taat beragama serta kaum abangan yang hidup mengatasnamakan Islam tapi tidak menjalankan syari’at.
                Sebab itu, feodalisme adalah salah satu sebab timbulnya Kebatinan.

Jumat, 05 September 2014

Masuknya Hulul


Masuknya Hulul di Indonesia
Hulul yaitu bahwasanya Allah menjelma dalam diri manusia. Hulul merupakan ajaran dari sufi bernama al-Hallaj. Pada suatu syair, al-Hallaj merumuskan perasaan hulul:
Pada suatu hari aku dapati Tuhan-Ku dalam hatiku,
Lalu aku bertanya: “Siapa Engkau?”
Dia menjawab: “Engkau!”
Di Indonesia, jaman dulu mengenal nama dari Dzat Yang Maha Kuasa itu, yaitu Allah. Tetapi apa bahasa asli kita untuk mengungkapkan Dzat tersebut?
Ada dua kata: Yaitu Tuhan dan Dewa. Kadang-kadang ditambah denga Hyang.
Seorang menetri di kerajaan Darmashraya Jambi ada yang disebut sebagai Dewa Tuhan. Ada kemungkinan bahwa  Dewa Tuhan adalah nama kecil dari Datuk Perpatih Nan Sebatang, pendiri Undang-undang Adat Budi Caniago di Minangkabau.
Pada batu bersurat Trenggono yang ditulis dalam bahasa arab, (Islam sudah masuk di san sekitar 1300 masehi) ketika meyebutkan Dzat Yang Maha Kuasa itu ditulis Dhewata Mulia Raya. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa pada saat itu, kata Dewa disandarkan kepada Allah.
Dan kita pakai juga kata Hyang, yaitu dari arwah nenek moyang. Dalam faham primitif, arwah nenek moyang dianggap sebagai Tuhan (animisme). Setelah Islam datang, kita paki juga kata tersebut untuk menyebut Allah. Sehingga sholat kita disebut sembahyang (menyembah Hyang).
Raja disebut sebagai wakil Hyang. Setelah islam datang, keagungan raja belum bisa ditauhidkan. Bahkan ada yang menganggap bahwa raja ituketurunan dewa. Raja disebut Pangeran, Allah juga disebut Pangeran. Raja dipanggil Gusti, maka Allah juga dipanggil Gusti. Hal tersebut tidak Cuma terjadi di Jawa, di seluruh nusantara juga sama dengan kata-kata daerah mereka sendiri.