Rekonstruksi Konsep Ketuhanan dalam
Pandangan Kartini
Kartini
adalah seorang tokoh yang hidup pada tahun 1879 sampai 1904. Meskipun berumur
pendek, ia sempat menggoreskan sebuah riwayat yang dikenal banyak orang. Ia
dikenal lantaran surat-suratnya yang dikirim kepada teman-temannya mampu
menggerakkan hati setiap pembacanya. Surat-surat itu ia tulis sejak 25 Mei 1899
sampai 7 September 1904. Surat-surat yang ia tulis berisi kritik terhadap
sistem yang ada di kehidupannya, mulai dari poligami, pendidikan rakyat dan
emansipasi wanita, adat masyarakat yang menyimpang, serta tentang agama dan
tuhan. Kumpulan surat-suratnya kemudian dijadikan buku oleh Abendanon (salah
satu sahabat penanya) dengan judul Door
Duisternis tot Licht (1911).
Kehidupan
Kartini sangatlah berliku-liku. Ia hidup menghadapi dua wakil zaman yang
anti-perubahan, yaitu feodalisme dan kolonialisme. Ia mengalami kebingungan
karena melawan adat feodal berarti ia melawan ayahnya. Melawan kolonialisme pun
ia merasa berat karena harus berhadapan dengan keluarga yang lemah lembut dan
baik hati terhadapnya, yaitu keluarga Abendanon.
Dalam
keyakinan agama pun ia seperti ditarik oleh dua tali yang kuat, pertama dari Ny,
Van Kol, seorang Kristen yan taat tempat Kartini berdiskusi agama, yang kedua
dari guru agama di derahnya dan keluarganya. Dalam beberapa suratnya ia
beberapa kali menyebut “Tuhan sebagai Bapa”. Ny Van Kol sendiri lah yang mengajarkan
konsep Tuhan Bapa kepada Kartini. Meskipun begitu, ia tetaplah seorang muslimah
yang taat terhadap agamanya sampai akhir hayatnya. Agama yang ada di benak
Kartini bukanlah tentang cara ibadah semata, tetapi menyangkut aspek sosial
untuk menyejahterakan rakyatnya.
Untuk
mengetahui pandangan Kartini tentang agama dan tuhan secara keseluruhan
sebenarnya cukup sulit karena surat-surat yang ditulisnya hanya berjangka
sekitar 4 tahun. Topik tentang ketuhanan juga tidak pernah menjadi topik utama
dalam suratnya, hanya topik selingan di antara topik besar lainnya. Selain itu,
pikiran-pikirannya hanya dituliskan dalam surat yang ditulis dengan bahasa yang
singkat dan sederhana. Karena itu, mencari tahu pemikiran Kartini tentang agama
dan tuhan sama seperti menyusun mozaik. Namun hal ini dipermudah karena
pemikiran Kartini tidak ada pertentangan dari satu surat ke surat yang lain.
Kartini
bukan penganut politeisme. Ia mengakui bahwa Tuhan itu Maha Esa. “Tiada Tuhan
Kecuali Allah! Kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua beriman, kaum
monoteisme; Allah itu Tuhan, pencipta alam semesta”1. Kartini menulis
suratnya kepada Dr. N. Adriani, seorang ahli bahasa yang bekerja di wilayah
Poso, Sulawesi Tengah, yang dikirim oleh Lembaga Alkitab di Negeri Belanda,
yang enggan menyebut dirinya sebagai zendeling (misionaris Kristen). Dalam surat
itu ia mengatakan bahwa mereka percaya kepada Tuhan yang sama, yaitu: “yang
Tuan namakan Tuhan dan Kami sebut Allah”2.
Kartini
sering menjelaskan sifat-sifat Tuhan. Tuhan Maha Besar. Tuhan Maha Kuasa. Tuhan
Maha Tahu. ‘Tuhan sajalah yang tahu akan keajaiban dunia; tangannya
mengemudikan alam semesta”3. Namun yang harus digarisbawahi adalah
penekanan Kartini pada sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dalam
hampir semua “surat keagamaannya” Kartini selalu menekankan kembali arti
penting gagasan tentang kasih sayang, setidaknya untuk dirinya sendiri4.
Abendanon, penyusun surat-surat Kartini, merumuskan credo (pengakuan kepercayaan) Kartini dalam rumusan sebagai
berikut: “Saya percaya kepada Tuhan pemberi cinta kasih sayang demi kebaikan
kita”5. Tuhan dialami sebagai suatu “pribadi” yang hidup dan bukan pengertian
abstrak. Kehadiran Tuhan itu dirasakan sebagai Seseorang (Iemand), sebagai pribadi yang dekat dengan kehidupan.
Ada
Seseorang yang melindungi kami. Ada Seseorang yang selalu dekat dengan kami. Dan
Seseorang itu akan menjadi pelindung kami, tempat kami berlindung dengan aman
dalam hidup kami selanjutnya.6
Kartini
juga mengkritik dunia spiritual di kalangan bangsanya. Dalam surat tertanggal 15 Agustus 1902, yang ditujukan
untuk Abendanon, Kartini menyatakan kekesalannya terhadap sistem pengajaran
agama yang hanya satu arah, tidak menyediakan tempat untuk bertanya. Hanya ada
kajian tekstual terhadap Al-qur’an, membaca dan menghafal. Penerjemahan dan pemaknaan
lebih dalam (tafsir) tidak ia dapatkan. Dari kekesalannya itulah ia beri’tikad
tidak mau melakukan apapun yang diajarkan tanpa lebih dahulu memikirkannya dan
mengerti jelas maknanya.
Dari kekesalannya itu muncullah
konsep “hati nurani”. Ia akan mempertimbangkan apa yang diterimanya berdasarkan
kata hatinya, karena tidak ada ukuran lain yang dimilikinya kecuali hati
nurani. Dengan hati nurani ia mengukur apa yang disebut “perbuatan benar” dan “perbuatan
buruk”, mana yang mengarahkan ke surga mana yang mengarahkan ke neraka.
Tuhan
kami adalah hati nurani kami, neraka dan surga kami adalah hati nurani kami. Kalau
kami berbuat salah, kami dihukum oleh hati nurani kami. Kalau kami berbuat
baik, kami diberkati oleh hati nurani kami.
Kartini mempunyai harapan untuk
mempertahankan harmoni dari suasana kehidupan masyarakat Jawa. Timbulnya persaingan
antaragama yang memecah-belah masyarakat dalam blok-blok agama amat ia
khawatirkan. Untuk itu, ia mengusulkan agar zending (misionaris Kristen)
mewartakan suatu pesan keagamaan yang bisa diterima oleh masyarakat Jawa, yaitu
tentang Tuhan sebagai Bapa yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Kartini sangatlah prihatin terhadap
kerukunan hidup antaragama. Menurutnya, kegiatan zending hendaknya lebih
menekankan pelayanan cinta kasih itu sendiri, tidak semata ingin mengkristenkan
orang. Kartini berharap para zending memberikan sarana-sarana pendidikan dan
pelayanan agar orang dididik menjadi dewasa, baik secara mental maupun
intelektual. Dalam tingkat kedewasaan tersebut maka orang akan memilih agamanya
sendiri-sendiri sesuai dengan kesadarannya sebagai orang yang sudah dewasa. Kartini
menganggap tidak jujur apabila zending “memancing di air keruh” dan
mempropagandakan agama Kristen di tengah-tengah orang Jawa yang miskin penuh
penyakit, dan bodoh – tanpa lebih dulu mendidik mereka, mengobati, dan menolong
mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang benar menurut Kartini hanya
bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sudah memilih, dan mereka
yang sudah dewasa.
Ajarlah
orang Jawa dengan perbuatan dan perkataan, arti peradaban yang sesungguhnya,
dan arti cinta yang sesungguhnya ... Peradaban yang sesungguhnya adalah akhlak
dan keagungan jiwa! Keduanya itu harus dikembangkan di antara senua bangsa yang
menganut berbagai kepercayaan untuk mengagungkan Tuhan, Tuhan yang Esa dan yang
benar, Bapa semua makhluk. Kirimkanlah dari Negeri Belanda ke Hindia hamba
Allah malaikat cinta-kasih yang membawa berkat bagi bangsa Jawa!7
Dari
pemikiran-pemikiran Kartini tersebut dapat kita ambil beberapa pelajaran. Meskipun
waktu itu belum ada Pancasila, pengamalan dan pandangan hidup Kartini mengekspresikan
jiwa sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kartini mengajarkan
kepada kita bahwa kita harus memahami agama masing-masing, tidak hanya membaca
dan menghafalkan teks kitab suci tetapi juga mengetahui makna yang terkandung
di dalamnya. Agama harus dipahami dengan benar agar tidak timbul kesesatan
dalam masyarakat. Selain itu, kita harus saling menghormati antar umat
beragama. Dapat kita lihat Kartini mempunyai teman seorang zending dan Kristen
taat, Ny. Van Kol, akan tetapi mereka tidak menjelek-jelekkan satu sama lain,
tidak menjatuhkan satu sama lain, bahkan mereka berdiskusi keagamaan dan saling
memberi masukan satu sama lain. Inilah keharmonisan dalam hidup beragama. Inilah
yang diharapkan dalam sila pertama Pancasila.
Catatan:
1. Surat
tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol
2. Surat
tertanggal 24 September 1902 kepada Dr. N. Adriani
3. Surat
tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol
4. Surat
tertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny. Abendanon Madri
5. “Pikiran
yang Dikutip dari Surat-surat yang Tidak Diumumkan” (DDTL, hal. 349). Tulisan ini adalah rumusan yang dibuat oleh J.H.
Abendanon untuk membrikan semacam perasaan dari pikiran-pikiran Kartini
mengenai banyak hal, yang diambil dri surat-surat yang tidak diterbitkan.
6. Surat
tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol
7. “Berikan
Pendidikan pada Orang Jawa!” (DDTL,1912,
hal. 365)
Daftar
Pustaka:
Sumartana. Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Yogyakarta:
Gading Publishing, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar