Pages

Jumat, 11 November 2016

Rekonstruksi Konsep Ketuhanan dalam Pandangan Kartini
Kartini adalah seorang tokoh yang hidup pada tahun 1879 sampai 1904. Meskipun berumur pendek, ia sempat menggoreskan sebuah riwayat yang dikenal banyak orang. Ia dikenal lantaran surat-suratnya yang dikirim kepada teman-temannya mampu menggerakkan hati setiap pembacanya. Surat-surat itu ia tulis sejak 25 Mei 1899 sampai 7 September 1904. Surat-surat yang ia tulis berisi kritik terhadap sistem yang ada di kehidupannya, mulai dari poligami, pendidikan rakyat dan emansipasi wanita, adat masyarakat yang menyimpang, serta tentang agama dan tuhan. Kumpulan surat-suratnya kemudian dijadikan buku oleh Abendanon (salah satu sahabat penanya) dengan judul Door Duisternis tot Licht (1911).
Kehidupan Kartini sangatlah berliku-liku. Ia hidup menghadapi dua wakil zaman yang anti-perubahan, yaitu feodalisme dan kolonialisme. Ia mengalami kebingungan karena melawan adat feodal berarti ia melawan ayahnya. Melawan kolonialisme pun ia merasa berat karena harus berhadapan dengan keluarga yang lemah lembut dan baik hati terhadapnya, yaitu keluarga Abendanon.
Dalam keyakinan agama pun ia seperti ditarik oleh dua tali yang kuat, pertama dari Ny, Van Kol, seorang Kristen yan taat tempat Kartini berdiskusi agama, yang kedua dari guru agama di derahnya dan keluarganya. Dalam beberapa suratnya ia beberapa kali menyebut “Tuhan sebagai Bapa”. Ny Van Kol sendiri lah yang mengajarkan konsep Tuhan Bapa kepada Kartini. Meskipun begitu, ia tetaplah seorang muslimah yang taat terhadap agamanya sampai akhir hayatnya. Agama yang ada di benak Kartini bukanlah tentang cara ibadah semata, tetapi menyangkut aspek sosial untuk menyejahterakan rakyatnya.
Untuk mengetahui pandangan Kartini tentang agama dan tuhan secara keseluruhan sebenarnya cukup sulit karena surat-surat yang ditulisnya hanya berjangka sekitar 4 tahun. Topik tentang ketuhanan juga tidak pernah menjadi topik utama dalam suratnya, hanya topik selingan di antara topik besar lainnya. Selain itu, pikiran-pikirannya hanya dituliskan dalam surat yang ditulis dengan bahasa yang singkat dan sederhana. Karena itu, mencari tahu pemikiran Kartini tentang agama dan tuhan sama seperti menyusun mozaik. Namun hal ini dipermudah karena pemikiran Kartini tidak ada pertentangan dari satu surat ke surat yang lain.
Kartini bukan penganut politeisme. Ia mengakui bahwa Tuhan itu Maha Esa. “Tiada Tuhan Kecuali Allah! Kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua beriman, kaum monoteisme; Allah itu Tuhan, pencipta alam semesta”1. Kartini menulis suratnya kepada Dr. N. Adriani, seorang ahli bahasa yang bekerja di wilayah Poso, Sulawesi Tengah, yang dikirim oleh Lembaga Alkitab di Negeri Belanda, yang enggan menyebut dirinya sebagai zendeling (misionaris Kristen). Dalam surat itu ia mengatakan bahwa mereka percaya kepada Tuhan yang sama, yaitu: “yang Tuan namakan Tuhan dan Kami sebut Allah”2.
Kartini sering menjelaskan sifat-sifat Tuhan. Tuhan Maha Besar. Tuhan Maha Kuasa. Tuhan Maha Tahu. ‘Tuhan sajalah yang tahu akan keajaiban dunia; tangannya mengemudikan alam semesta”3. Namun yang harus digarisbawahi adalah penekanan Kartini pada sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dalam hampir semua “surat keagamaannya” Kartini selalu menekankan kembali arti penting gagasan tentang kasih sayang, setidaknya untuk dirinya sendiri4. Abendanon, penyusun surat-surat Kartini, merumuskan credo (pengakuan kepercayaan) Kartini dalam rumusan sebagai berikut: “Saya percaya kepada Tuhan pemberi cinta kasih sayang demi kebaikan kita”5. Tuhan dialami sebagai suatu “pribadi” yang hidup dan bukan pengertian abstrak. Kehadiran Tuhan itu dirasakan sebagai Seseorang (Iemand), sebagai pribadi yang dekat dengan kehidupan.
Ada Seseorang yang melindungi kami. Ada Seseorang yang selalu dekat dengan kami. Dan Seseorang itu akan menjadi pelindung kami, tempat kami berlindung dengan aman dalam hidup kami selanjutnya.6
                Kartini juga mengkritik dunia spiritual di kalangan bangsanya. Dalam surat  tertanggal 15 Agustus 1902, yang ditujukan untuk Abendanon, Kartini menyatakan kekesalannya terhadap sistem pengajaran agama yang hanya satu arah, tidak menyediakan tempat untuk bertanya. Hanya ada kajian tekstual terhadap Al-qur’an, membaca dan menghafal. Penerjemahan dan pemaknaan lebih dalam (tafsir) tidak ia dapatkan. Dari kekesalannya itulah ia beri’tikad tidak mau melakukan apapun yang diajarkan tanpa lebih dahulu memikirkannya dan mengerti jelas maknanya.
            Dari kekesalannya itu muncullah konsep “hati nurani”. Ia akan mempertimbangkan apa yang diterimanya berdasarkan kata hatinya, karena tidak ada ukuran lain yang dimilikinya kecuali hati nurani. Dengan hati nurani ia mengukur apa yang disebut “perbuatan benar” dan “perbuatan buruk”, mana yang mengarahkan ke surga mana yang mengarahkan ke neraka.
Tuhan kami adalah hati nurani kami, neraka dan surga kami adalah hati nurani kami. Kalau kami berbuat salah, kami dihukum oleh hati nurani kami. Kalau kami berbuat baik, kami diberkati oleh hati nurani kami.
            Kartini mempunyai harapan untuk mempertahankan harmoni dari suasana kehidupan masyarakat Jawa. Timbulnya persaingan antaragama yang memecah-belah masyarakat dalam blok-blok agama amat ia khawatirkan. Untuk itu, ia mengusulkan agar zending (misionaris Kristen) mewartakan suatu pesan keagamaan yang bisa diterima oleh masyarakat Jawa, yaitu tentang Tuhan sebagai Bapa yang Maha Pengasih dan Penyayang.
            Kartini sangatlah prihatin terhadap kerukunan hidup antaragama. Menurutnya, kegiatan zending hendaknya lebih menekankan pelayanan cinta kasih itu sendiri, tidak semata ingin mengkristenkan orang. Kartini berharap para zending memberikan sarana-sarana pendidikan dan pelayanan agar orang dididik menjadi dewasa, baik secara mental maupun intelektual. Dalam tingkat kedewasaan tersebut maka orang akan memilih agamanya sendiri-sendiri sesuai dengan kesadarannya sebagai orang yang sudah dewasa. Kartini menganggap tidak jujur apabila zending “memancing di air keruh” dan mempropagandakan agama Kristen di tengah-tengah orang Jawa yang miskin penuh penyakit, dan bodoh – tanpa lebih dulu mendidik mereka, mengobati, dan menolong mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang benar menurut Kartini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sudah memilih, dan mereka yang sudah dewasa.
Ajarlah orang Jawa dengan perbuatan dan perkataan, arti peradaban yang sesungguhnya, dan arti cinta yang sesungguhnya ... Peradaban yang sesungguhnya adalah akhlak dan keagungan jiwa! Keduanya itu harus dikembangkan di antara senua bangsa yang menganut berbagai kepercayaan untuk mengagungkan Tuhan, Tuhan yang Esa dan yang benar, Bapa semua makhluk. Kirimkanlah dari Negeri Belanda ke Hindia hamba Allah malaikat cinta-kasih yang membawa berkat bagi bangsa Jawa!7
Dari pemikiran-pemikiran Kartini tersebut dapat kita ambil beberapa pelajaran. Meskipun waktu itu belum ada Pancasila, pengamalan dan pandangan hidup Kartini mengekspresikan jiwa sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kartini mengajarkan kepada kita bahwa kita harus memahami agama masing-masing, tidak hanya membaca dan menghafalkan teks kitab suci tetapi juga mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Agama harus dipahami dengan benar agar tidak timbul kesesatan dalam masyarakat. Selain itu, kita harus saling menghormati antar umat beragama. Dapat kita lihat Kartini mempunyai teman seorang zending dan Kristen taat, Ny. Van Kol, akan tetapi mereka tidak menjelek-jelekkan satu sama lain, tidak menjatuhkan satu sama lain, bahkan mereka berdiskusi keagamaan dan saling memberi masukan satu sama lain. Inilah keharmonisan dalam hidup beragama. Inilah yang diharapkan dalam sila pertama Pancasila.
                       
Catatan:
1.      Surat tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol
2.      Surat tertanggal 24 September 1902 kepada Dr. N. Adriani
3.      Surat tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol
4.      Surat tertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny. Abendanon Madri
5.      “Pikiran yang Dikutip dari Surat-surat yang Tidak Diumumkan” (DDTL, hal. 349). Tulisan ini adalah rumusan yang dibuat oleh J.H. Abendanon untuk membrikan semacam perasaan dari pikiran-pikiran Kartini mengenai banyak hal, yang diambil dri surat-surat yang tidak diterbitkan.
6.      Surat tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol
7.      “Berikan Pendidikan pada Orang Jawa!” (DDTL,1912, hal. 365)

Daftar Pustaka:

Sumartana. Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Yogyakarta: Gading Publishing, 2013.